Jumat, 02 Maret 2012

DIRI dalam MENULIS



Menulis adalah sesuatu yang mudah tapi susah. Nah lho.. gimana nih? Mudah bagi yang telah mengetahui caranya. Namun susah bagi yang belum ketemu kuncinya. Menulis juga berati mengapresiasikan diri.

Obrolan ditemani kopi hangat bersama seorang karib di sore itu, telah membuka mataku tentang pentingnya arti “diri” bagi seseorang yang menulis. Seorang karib yang telah kukenal selama satu tahun, namun adanya persamaan di antara kami, telah membuat perkenalan yang baru setahun itu menjadikan hubungan ini seperti telah mengenal bertahun-tahun. Karibku bercerita tentang beratnya memulai sebuah tulisan. Berkali-kali tangannya mulai menuliskan huruf demi huruf. Namun hanya desahan nafas yang dia dapat. Tak kunjung terwujud, meski hanya selembar pun.

Kutanyakan padanya, apakah ilmu menulisnya kurang? Namun, pertanyaanku disanggahnya.

“Bertumpuk buku teori menulis sudah kubaca. Belajar dari internet juga sudah,” sanggahnya sembari menyeruput cairan berwarna hitam yang mengepulkan asap.

Jadi, apa yang menyebabkan tidak ada daya untuk menulis? Bukankah rekanku ini penikmat novel dan cerpen ketika masa sekolah dulu? At least.. pasti membekas di hatinya gaya tulisan dan kesan yang mendalam dari novel dan cerpen yang dulu pernah dibacanya.

Analisaku, rekanku ini belum menjadi dirinya sendiri. Sikapnya padaku ketika berinteraksi dan bertukar pikiran sebagai seorang sahabat, akan sangat berbeda dengan sikapnya ketika menjadi seorang atasan di kantornya. Penuh wibawa, mengayomi dan terlihat formal. Benar-benar jaim deh kesannya. Tapi memang begitulah, setiap profesi akan menimbulkan konsekuensi dalam bersikap.

Berbeda ketika dia berdialog denganku. Jati dirinya yang sejati terlihat. Semangat muda dan mimpi-mimpi masa lalu jelas terpancar. Terpancar suka cita dari sorot matanya, tawanya lepas. Seolah berkata, Inilah aku yang sebenarnya. Feel free. Dua karakter yang berbeda.

Namun siapa sangka, perbedaan karakter itulah yang membuatnya tidak bisa menggoreskan penanya. Susah untuk memulainya.

“Rasanya aku ingin menyobek topeng yang ada di wajahku,” katanya sembari memainkan sebatang rokok yang tidak berapi.

Hm.. baru aku sadar. Betapa seseorang kadang terjebak dalam karakter yang berat, yang harus dijalani dalam hari-harinya. Dan kadang jiwa dan karakter yang ditakdirkan sejak dalam perut untuk menjadikan dirinya berbeda dengan individu lain, terkalahkan. Terkurung dalam sebuah etika pergaulan yang terkadang kaku. Apalagi jika posisi makin di atas, batasan pun semakin jelas.

Karibku, topeng itu rupanya bebanmu. Aku hanya bisa memberi sedikit solusi baginya, “Jadilah dirimu sendiri ketika kau menggoreskan pena untuk menulis. Dengan menjadi diri sendiri, kau akan mampu manghayati karakter-karakter lain dalam tokoh fiksimu.”

Setelah meneguk kopi terakhir, karibku mengangguk mantap. Terlihat binar di matanya.

Esoknya, sebuah cerpen diemailkan ke alamat emailku. Wow, dia telah berhasil membuat sebuah cerpen. Meskipun masih banyak yang harus diperbaiki, namun dia telah menemukan dirinya sendiri dan langkah awal dalam dunia menulis telah dilakukannya. Tetap semangat sobat, lirihku dalam hati.