Senin, 27 Februari 2012

Memandang Audisi Menulis


Kini banyak sekali bermunculan audisi menulis di jejaring sosial (face book). Penyelenggaranya pun macam-macam. Ada yang penulis senior, penulis yunior, komunitas menulis bahkan sekolah menulis online. Rame sekali.
Banyak penulis pemula yang tertarik untuk mencoba mengikuti audisi ini. Dengan harapan dapat menang dan memeroleh hadiah atau janji-janji yang dijanjikan penyelenggara audisi. Hadiah atau janji tersebut bervariasi. Tidak ada ketentuan baku tentang nominal dan standar yang diberikan. Ada penyelenggara yang menjanjikan untuk membukukan karya para pemenang lomba ke penerbit, ada pula yang memberi alternative pilihan, jika tidak menang akan diterbitkan secara indie. Beberapa penyelenggara memberikan hadiah berupa uang atau souvenir (bisa berupa buku atau barang yang lain).
Peserta sangat antusias. Mereka yang kebanyakan penulis pemula mulai mengirim naskah. Berharap menang. Membukukan karya mereka dalam bingkai antologi dan memeroleh hadiah yang dijanjikan.
Nah, jika yang beruntung, bertemu dengan penyelenggara audisi yang fair dalam penilaian dan memenuhi janji, maka bisa tersenyum lega. Seperti halnya aku, audisi pertamaku kini telah menjadi sebuah buku antologi berjudul HAPPY MOM dan diterbitkan oleh Elexmedia. Penyelenggara audisi (PJ), Iir Harun, memenuhi janji dengan membagi rata royalty kepada semua pemenang lomba. Meskipun nominalnya menjadi kecil karena dibagi oleh puluhan orang pemenang, namun nilai itu sangat berarti. Setidaknya buku antologiku diterbitkan oleh penerbit mayor. Dan kisahku pribadiku pun ikut dibukukan.
Namun, jika peserta lomba mendapat pil pahit, seperti tiba-tiba lenyapnya penyelenggara, tidak bisa dihubungi dan membawa serta naskah. Atau janji menerbitkan buku tidak dapat dipenuhi maka akan membuat kekecewaan yang mendalam. Siapa penulis yang tidak sakit hati jika karyanya tidak jelas? Menulis memang menguras tenaga, mencurahkan segenap pikiran dan perasaan. Ada hati penulis yang tertuang dalam sebuah naskah.
Tetapi melihat kenyataan seperti itu, jangan lantas membuat seorang penulis terlarut dalam emosi dan merasa gagal. Plissss.. kedepankan logika dan kejernihan pikiran. Setiap peristiwa tidak ada yang sia-sia jika kita mau mencermatinya.
Coba kita telaah, ketika seorang penyelenggaran lenyap membawa naskah kita, bersyukurlah bahwa kita pernah bertemu dengan pribadi yang seperti itu. Kelak jika kita bertemu dengan tipikal orang yang sama, kita akan lebih waspada. Jangan sampe tertipu dan naskah hilang oleh pribadi serupa. Rasa syukur lain adalah, untung yang dibawa naskah antologi yang rata-rata 3-5 lembar. Untung bukan naskah setebal 100-150 halaman.
Jika naskah kita gagal diterbitkan sesuai janji ketika lomba, coba kita diskusikan baik-baik dengan PJ. Mengapa tidak bisa diterbitkan? Apakah karena kurangnya usaha maksimal dari PJ ataukah ada sebab-sebab lain? Bisa jadi tema yang diusung tidak up to date sehingga tidak masanya diterbitkan. Atau ada masalah teknis lainnya. Menerbitkan buku tidaklah mudah, memerlukan perjuangan dan kemauan keras. Disamping itu, yang perlu dipahami adalah penulis dan penerbit ibarat sebuah perjodohan. Tidak ada yang bisa memaksakan. Kalau belum jodoh, ya belum bisa terbit.
Alternatif lain jika tidak diterbitkan oleh penerbit, akan diterbitkan secara indie. Swadaya tentunya. Dan ini haruslah dengan kesepakatan semua pemenang. Penyelenggara yang bertindak sebagai PJ hendaknya memusyawarahkan secara mufakat (ciee.. PPKn banget), karena bagaimana pun ini memerlukan biaya yang dikumpulkan secara kolektif dari para pemenang.
Bagi saya pribadi, audisi menulis seperti itu penting untuk langka awalku sebagai penulis pemula. Mengapa demikian? Karena :
- Buku adalah sebuah catatan sejarah
Dengan buku maka kita telah menggoreskan tinta bersejarah. Anak-anak dan cucu-cucuku kelak akan bisa membacanya. Beberapa antologi yang diterbitkan indie benar-benar memuat kisah pribadiku. Bagaimana dulu aku bertemu dengan suamiku semasa SMA (dalam Senandung Rindu yang Karatan) dan bagaimana keseharianku sebagai seorang Ibu yang heboh (dalam Cobek Digital Emak).
Sedangkan antologi yang diterbitkan penerbit, Happy Mom, menceritakan pengalamanku dengan Rijal dalam “Kesempurnaan Anak Haruskah?”. Kisah ibuku dalam mendapatkan buah hati tertuang dalam Ya Allah, Beri Aku Satu Saja (Enam Tahun Penantian).
Bahkan aku sudah menyiapkan masing-masing 2 buku, yang kelak akan aku berikan pada dua putraku, sebagai sejarah tentang orang tuanya.
- Ajang silaturahmi
Dengan memenangkan audisi maka aku telah menambah jumlah teman penulis. Saling memberi semangat, bertukar informasi dan ilmu. Kehangatan silaturahmi itu melebihi dari nilai kemenangan sebuah lomba.
- Belajar banyak hal tentang mengirim data.
Setahun yang lalu, ketika mulai mengikuti lomba, masih bingung cara mengirim file dan bagaimana melakukan tag lomba + cover buku. Dengan memberanikan ikut lomba, otomatis kemampuan bertambah. Dan siapa nyana, setahun lalu, seorang Ari, peserta yang masih malu-malu, kini mulai menjadi peyelenggara lomba (IBU PUN BISA BERBISNIS).
- Melatih mental sebagai penulis
Penulis hendaklah seorang pribadi yang tahan banting. Tidak menyerah ketika karyanya tidak lolos ketika lomba. Bahkan harus mau mengevaluasi diri dan mengoreksi naskah, mengapa naskah itu kalah. Memperbaiki naskah kemudian mencoba kesaktian naskah lagi dengan mengikuti lomba-lomba yang lain.
- Batu loncatan.
Bagiku, audisi yang menghasilkan antologi adalah batu loncatan. Setelah puas berantologi dalam beberapa buku, maka mulai memberanikan diri menulis buku solo, dimana seluruh tanggung jawab kepenulisan ada di tangan diri sendiri.
- Belajar selektif
Dengan mengikuti beberapa audisi di beberapa tempat, maka akan memelajari banyak hal. Bagaimana membaca kepribadian seseorang melalui status dalam FB, bagaimana kinerja teman-teman penulis yang lain dan memilih siapa saja yang bisa diajak bergandengan tangan menuju ke arah kemajuan bersama.
Saya pun mulai selektif jika mengikuti lomba. Kini mending milih lomba yang diselenggarakan penulis yang kredibilitasnya bagus.

Bagaimana pun, setiap orang memiliki cara pandang sendiri-sendiri dalam memandang sebuah audisi menulis. Saya hanya berharap, semua proses yang kita jalani dalam dunia menulis adalah sebuah pembelajaran. Mengambil hikmah dari setiap peristiwa dan selalu mengedepankan logika serta membalutnya dengan hati.

Sabtu, 25 Februari 2012

KOPDAR IIDN se JABODETABEK


Kopdar Ibu-Ibu Doyan Nulis Se Jabodetabek, 25 Februari 2012. Bersama Indari Mastuti dan Ita Puspitasari. Sharing pengalaman menulis buku bisnis. Jumlah peserta yang hampir mencapai 50 orang, membuat kopdar ini begitu berkesan. Saling berbagi pengalaman, menimba ilmu dan menjalin silaturahmi.
Buku Bisnis Rumahan untuk Para Ibu.... Buku Solo pertamaku yang fenomenal
Terbitan : Gramedia Pustaka Utama