Tak terasa, nyaris sepuluh tahun aku menjadi seorang ibu. Orang tua perempuan kata lainnya. Membesarkan kedua buah hati dengan segenap kemampuan. Awalnya sih banyak hal yang aku tidak tahu tentang membesarkan dan mendidik anak. Maka semenjak hamil anak pertama, buku-buku panduan tentang kehamilan dan merawat bayi dan balita pun aku koleksi.
Dengan perut yang semakin membesar seiring dengan perkembangan janin di dalamnya, aku mulai membuka lembar demi lembar buku tersebut. Hari-hari menunggu kelahiran jabang bayi pun sarat dengan informasi yang aku peroleh dari buku dan televisi (maklumlah.. masa itu internet masih langka dan mahal).
Ternyata oh ternyata.. ilmu saja tidak cukup. Rasa tidak tega dan sayang yang berlebihan pada jabang bayi (apalagi anak pertama) membuatku tidak optimal menjalankan apa yang ditulis di buku. Foto step by step di buku yang kelihatannya mudah, pas dipraktekkan, waduh susahnya setengah mati. Ngaku deh, baru kali itu aku memegang bayi merah. Takut melukai, takut salah dan sejuta takut yang berkumpul di hati telah membelengguku untuk bereksperimen.
Begitu juga ketika memahami memberi ASI ekslusif. Saat itu aku bersikeras memberi ASI eksklusif. Yakin banget kalau memberi ASI itu adalah terbaik dan gampang dilakukan. Ternyata tidaklah sesederhana itu. Untuk menghasilkan ASI yang melimpah dan mencukupi kebutuhan sang bayi, perlu “perjuangan”. Makan yang bergizi, minum banyak air adalah salah satu cara. Karena dulu aku “ngotot” bahwa dengan meminum susu untuk ibu menyusui sudah cukup, alhasil, ASI yang keluar tidak melimpah.
Baru akhir-akhir ini aku tersadar. Bahwa belajar itu tidak hanya dari buku. Tapi harus dipadukan dengan belajar di sekolah kehidupan. Belajar dari pengalaman orang, belajar dari praktek dan belajar dari siapa pun.
Kini aku memiliki dua buah hati. Semuanya laki-laki. Wah, ini tanggung jawab besar. Mereka adalah calon pemimpin masa depan. Aku harus memaksimalkan potensi dan mengarahkan mereka pada fitrahnya.
Zaman anak-anakku telah berbeda dengan zamanku. Tantangan akademik, tantangan lingkungan dan tantangan tehnologi yang sangat berbeda. Sebagai orang tua, aku harus terus belajar. Belajar dari buku, dari suami, dari teman, dari internet, dari lingkungan bahkan dari anak-anakku aku juga bisa belajar.
Kemampuan memprediksi fenomena apa saja yang mungkin terjadi akan menentukan langkah apa yang terbaik bagi anak. Misalnya mengintip pelajaran matematika satu dan dua tingkat di atasnya. Berbincang dengan para ibu yang anaknya sudah lebih besar dari anakku. Cukup memberi wacana akan langkah apa yang harus aku tempuh. Misalnya karena pelajaran matematika sekarang 4 tingkat lebih sulit dari zamanku, dan sangat padatnya muatan yang diberikan pada siswa, maka aku menyiapkan fondasi matematika yang kuat bagi anak-anakku. Sepertinya kejam ya, kok anak TK sudah disuruh les matematika. Tapi ternyata tidak. Dan terbukti, bahwa apa yang aku lakukan telah membuat mereka tersenyum kini.
So… belajar bukan milik anak sekolah. Tapi belajar adalah milik semua orang. Terutama orang tua, sebagai penyelenggara sekolah pertama bagi anak-anak. Zaman terus berjalan bahkan berlari, orang berlomba-lomba meng-up grade diri. Akankah kita hanya berpangku tangan dan bangga dengan selembar ijazah yang pernah kita peroleh????
Tidak ada komentar:
Posting Komentar